Rabu, 11 April 2012

PERBANDINGAN PENERAPAN KONSEP WASIAT WAJIBAH ANTARA KHI DENGAN UU HUKUM PERDATA MESIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Wasiat wajibah merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya pelaksanaan wasiat tersebut dan bagaimana pula wasiat tersebut di peruntukan. Di Indonesia aturan tersebut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang dikususkan bagi orang muslim di Indonesia. Konsep tersebut diperuntukan bagi anak angkat ataupun bagi orang tua angkat. Berbeda halnya di Mesir konsep tersebut di peruntukan bagi persoalan cucu-cucu yang orang tuanya meninggal dulu dari pada kakek atau neneknya. Dari perbedaan penerapan konsep tersebut penulis mencoba memaparkan makalah yang berjudul “PERBANDINGAN PENERAPAN KONSEP WASIAT WAJIBAH ANTARA KHI DENGAN UU HUKUM PERDATA MESIR ” B. Rumusan masalah 1) Bagaimana wasiat dalam perspektif fiqh? 2) Bagaimana sejarah negara mesir? 3) Bagaimana penerapan konsep wasiat wajibah dalam KHI? 4) Bagaimana penerapan konsep wasiat wajibah di negara mesir? BAB II PEMBAHASAN A. WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH 1) Pengertian Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti "pesan". Sementara menurut istilah syara' wasiat berarti pesan yang diberikan oleh seseorang yang hendak meninggal dunia tentang sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah ia meninggal dunia. Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. 2) Rukun wasiat Pelaksanaan wasiat dianggap benar secara ilmu fiqih jika memenuhi rukun wasiat, yaitu : a) al-mushi (orang yang mewasiatkan) b) al-musha lahu (orang yang menerima wasiat) c) al-musha bihi (sesuatu yang diwasiatkan) d) shighat (ijab dan qabul) 3) Syarat wasiat a) Bagi orang yang mewasiatkan harus baligh, berakal sehat dan atas kehendak sendiri. b) Bagi orang yang menerima wasiat secara hukum jelas ada, orang diberi wasiat menerima (tidak menolak), dan bukan merupakan ahli waris yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat kecuali memperoleh persetujuan yang lain. c) Bagi harta atau sesuatu yang diwasiatkan  tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan  dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain  jelas keberadaannya ketika wasiat diucapkan  dapat memberi manfaat secara hakiki  tidak bertentangan dengan hukum syara, misalnya wasiat agar membuat bangunan megah diatas kuburannya d) Sighat wasiat harus dapat dimengerti atau dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan. Selain itu penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. B. PROFIL NEGARA MESIR 1) Sejarah latar belakang mesir Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir. Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan. Mesir menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani. Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya : a. Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia). b. Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi. c. Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian. d. Menjadi wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”. Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan politik, ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal. Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan format perpolitikan yang baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah adalah salah satu dari tiga kerajaan besar Islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani Umaiyah di Spanyol. Kehadiran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh aliran/sekte Syi’ah (kerajaan Syi’ah) telah memberikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat Islam mengalami kemunduran. Statemen tersebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-bukti eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya berdirinya Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme. Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain. Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul. Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia. Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian. Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti: 1) Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada. 2) Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan daerah-daerah lain. 3) Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa. Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam. Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia. 1) Letak, batas dan luas mesir a. Letak Astronomis : Secara astronomis Mesir terletak di antara 25o BT- 36o BT dan antara 22oLU- 32o LU. b. Letak Geografis : Secara geografis Mesir terletak di tepi Laut Merah dan Laut Mediterania. c. Batas : 1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Tengah 2) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Jalur Gaza, Israel, dan Laut Tengah. 3) Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Sudan 4) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Libya d. Luas : Luas negara Mesir adalah 997.739 km2 C. PENERAPAN KONSEP WASIAT WAJIBAH DALAM KHI Penerapan konsep wasiat wajibah dalam KHI hanya diperuntukan bagi anak angkat atau orang tua angkat, hal ini termaktub dalam pasal 171 KHI. Jika ada anak angkat maka ada orang tua angkat, dalam hal ini, KHI menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari- hari, sebagaimana tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Dengan pasal 171 KHI ini dapat dipahami sebagai berikut: 1) Status anak angkat hanya terbatas padaperalihan, pemeliharaan hidup sehari- hari, tanggung jawab biaya pendidikan. 2) Keabsahan status anak angkat harus berdasarkan atas keputusan pengadilan. 3) Disamping pasal 171 pasal 209 KHI memberikan hak wasiat wajibah 1/3 kepada anak angkat. Status anak angkat tidak berkedududkan sebagaimana anak kandung, oleh karena itu orang tua angkat tidak menjadi ahli waris anak angkatnya, akan tetapi, kenyataan hubungan itu tidak dapat dipungkiri scara hukum, kerana itu untuk tidak membohongi diri atas fakta yuridis tersebut pasal 209 (2) KHI memodifikasi suatu kesimpulan hak dan kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hubungan waris muwaris adalah sebagai berikut: a) Anak angkat berhak mendapat 1/3 berdasarkan kontuksi hukum wasiat wajibah, b) Orang tua angkat berhak mendapat 1/3 berdasarkan kontruksi hukum wasiat wajibah. Berhubungan dengan bunyi pasal 205 KHI sebagai berikut: 1) Harta peninggalan anak angkat dibagiberdasarkan pasal- pasal 176-193 tersebut, sedangkan terhadaporang tua angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan anak angkatmya. 2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dengan hal tersebut KHI menjelaskaan bahwa antara anak angkat dengan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kewarisan, tetapi sebagai pengetahuan tentang baiknya lembaga pengangkatan anak tersebut, oleh karena itu hubungan antara keduanya dikukuhkan dengan perantaraan wasiat waijabah. Pengertian wasiat wajibah antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dapat mencegah atau menghindari konflik atau sengketa antara anak angkat dengan keluarga orang tua angkat yang seharusnya menjadi ahli waris dari orang tua angkat tersebut. Deimikian pula kemungkinan terjadinya konflik antara orang tua angkat yang masih hidup dengan angkat, mereka mempunyai pedoman dalam menyelesaikan sendiri tentang kewarisan yang mereka hadapi. D. PENERAPAN KONSEP WASIAT WAJIBAH MENURUT UU PERDATA MESIR Berbeda halnya dengan KHI, penerapan wasiat wajibah di negara mesir justru di peruntukan untuk mengatasi masalah cucu atau cucu-cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu atau bersamaan waktunya dengan pewaris (kakek atau nenek mereka) dengan ketentuan: a) Kalau dari garis keturunan laki-laki maka berlaku seterusnya ke bawah, tetapi kalau dari garis keturunan anak perempuan terbatas sampai pada anak atau anak-anak dari anak perempuan pewaris. b) Pewaris di masa hidupnya belum pernah memberikan harta kepada yang berhak menerima wasiat wājibah sebesar hak wasiat wājibahnya. c) Besarnya wasiat wājibah hanya sepertiga harta, apakah yang berhak menerimanya itu banyak atau sedikit, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan atau tidak. Kalau terdiri dari laki-laki dan perempuan maka bagian mereka adalah dua berbanding satu. d) Wasiat wājibah didahulukan dari wasiat biasa. Kalau pewaris telah membuat wasiat kepada mereka yang berhak menerima wasiat wājibah tetapi jumlahnya kurang dari sepertiga, maka dicukupkan sampai jumlah sepertiga; tetapi bila telah melebihi dari sepertiga maka kelebihan itu dianggap sebagai wasiat biasa. Kalau yang berhak menerima wasiat wājibah lebih dari seorang, ada yang diberi wasiat dan ada yang tidak, maka yang belum diberi tersebut berhak mendapat bagian wasiat wājibah dan dibayar terlebih dahulu daripada wasiat biasa lainnya. Adapun ketentuanya di terangkan dalam pasal 77-79 79 Undang-Undang Wasiat Mesir Nomor 71 tahun 1946 yaitu: - Pasal 76: Maka wajiblah diberikan wasiat kepada keturunan tersebut sebesar bagian (yaitu bagian warisan yang mesti diterima oleh orang tuanya seandainya ia masih hidup) dalam batas maksimal 1/3 dengan syarat ia bukan ahli waris dan tidak pernah mendapat hadiah dari pewaris sebesar kewajiban tersebut, apabila nilainya lebih kecil dari jumlah kewajiban tersebut, maka wajib diberikan kepadanya wasiat sekedar menyempurnakan/melengkapi jumlah bagian yang diwajibkan tersebut. - Pasal 77: Apabila si mati berwasiat kepada orang yang wajib baginya wasiat melebihi dari jumlah yang seharusnya ia terima, maka lebihnya itu adalah wasiat ikhtiyariyah. Sedangkan apabila wasiatnya kurang dari apa yang seharusnya ia terima, maka wajiblah untuk disempurnakan/dipenuhi bagiannya itu. - Pasal 78: wasiat wājibah didahulukan dari wasiat yang lainnya. Apabila mayit tidak berwasiat kepada orang yang wajib baginya berwasiat, dan ia berwasiat kepada yang lainnya, maka orang yang wajib baginya wasiat tersebut berhak menerima bagian yang seharusnya ia terima dari sisa 1/3 harta warisan seandainya mencukupi. Apabila tidak, maka baginya dan bagi yang diberi wasiat lainya dalam batas 1/3 tersebut. E. PERBEDAAN PENERAPAN WASIAT WAJIBAH MENURUT KHI DENGAN UU PERDATA MESIR Dari pemaparan di atas dapat kita ketahui bahwa penerapan konsep wasiat wajibah dalam KHI hanya diperuntukan bagi anak angkat atau orang tua angkat, sedangkan di mesir konsep wasiat wajibah di peruntukan pada persoalan cucu-cucu yang orang tuanya meninggal dulu dari pada kakek atau neneknya. Di dalam KHI konsep wasiat wajibah yang diterapkan di negara mesir itu sama halnya dengan konsep ahli waris pengganti, hal itu termaktub Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: a) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. b) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemeparan materi yang ditulis oleh kelompok kami, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum islam memang sangat berkembang. Dalam hal ini penulis memaparkan tentang wasiat dengan cara study Komperatif antara KHI dan UU Perdata Mesir. Dimana konsep yang diterapkan sangat berbeda atau bertolak belakang antar KHI dan UU Perdata Mesir. Didalam KHI konsep wasiat wajibah adalah peralihan harta dari seseorang kepada orang lain. Dalam konteksnya, orang yang menerima wasiat wajibah adalah anak angkat. Maka dari itu, anak angkat diberikan harta peninggalan 1/3 dari harta warisan. Akan tetapi dalam UU Perdata Mesir dikatakan bahwa wasiat wajibah dibekrikan kepada cucu-cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu. Hal ini jika didalam hukum islam diIndonesia disebut sebagai ahli waris pengganti. Hal inilah yang menarik penulis untuk membedah study komperatif antara KHI dan UU perdata Mesir tentang wasiat wajibah. Semoga hal ini dapat dijadikan pengetahuan tambahan terutama bagi para calon Sarjan Hukum Islam.. DAFTAR PUSTAKA Rahman Fatchur, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Dahlan Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000. Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam). Jakarta: Gaya Media Pratama,1997 Sihbudi M. Riza dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT. Eresco,1993. Nasution Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan . Asmuni M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta. H. Abdurrahman SH., MH., Kompilasi Hukum Islam DiIndonesia. Akademika Presindo : Jakarta Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islamdi Indonesia ( Jakarta: Akademika Presindo, 1992): Usman Suparman dan SomawinataYusuf , Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Cet. I, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Departemen Agama RI.,Bahan penyuluhan Hukum. Jakarta :1999/2000. http://kitab-fiqih.blogspot.com/2011/06/definisi-wasiat.html#.T4L42YGcaKH http://rizkygistiyan.blogspot.com/2009/12/peta-negara-mesir-negara-mesir-ibu-kota.html

Rabu, 14 Maret 2012

setatus anak hasil nikah sirri

4. Istilah Perkawinan Di Bawah Tangan (Nikah Sirri) Serta Kekuatan Hukumnya
Perkawinan di bawah tangan, nikah agama, atau lebih populer dengan nikah sirri. Nikah sirri merupakan perkawinan yang sah menurut hukum UU No. 1 tahun 1974 dan agama dengan terpenuhinya syarat dan rukun nikah itu sah. Nikah sirri merupakan suatu istilah yang dibentuk dari dua kata; nikah dan sirri. Kata nikah dalam bahas Indonesia adalah kata benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari bahasa arab, yaitu nakaha, yankihu, nikahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , nikah atau perkawinan adalah perjanjian anatara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri. Dan kata sirri adalah satu kata bahasa Arab yang berasal dari infinitive sirran dan sirriyyun. Secara etimologi sirran berarti diam-diam atau tertutup, secara batin, atau didalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berate secara rahasia, sembunyi-sembunyi, atau misterius. Kata sirri,sirran, atau sirriyyun, dalam bahasa Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannyapun belum popular di Indonesia. Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri). Pada sebagian masyarakat terutama sebagian umat islam di Indonesia, cukup banyak dikenal.
Menurut pendapat guru besar (Syekh) al-Azhar yaitu Syekh Dr. Jaad Al-Haq ‘Ali Jaad Al-Haq, yang juga pernah diterbitkan oleh majalah Mimbar hukum mengatakn bahwa sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Nikah Sirri disebut dengan Az-zawaj al’urfy. Dalam hal ini syekh Jaad Al-haq ‘Ali Jaad Al-haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori, yakni:
a. Peraturan Syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Yang sudah ditentukan oleh syari’at islam seperti yang sudah dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai madzhab. Apabila sebuah pernikahan tersebut sudah memenuhi berbagai unsur-unsur pembentukan nikah tlah sempurna atau sesuai dengan ketentua Syara’, maka pernikahan tersebut telah dianggap sah. Sehungga halal bergaul sebagaimana suami-istri. Dan anak dari hubungan suami-istri tersubut sudah dianggap sebagai anak sah.
b. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan bersifat tambahan yang bermaksud agar perkawinan yang dilakukan umat islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
Menurut fatwa sekh Jaad Al-haq ‘Ali Jaad Al-haq, syarat tawsiqy bukan merupakan syarat sahnya pekawinan akan tetapi hanya bersifat sebagai bukti dikemudian hari. Jadi tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’i pernikahan itu sudah dianggap sah. Dan hal ini diperkuat oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu.
Akan tetapi banyak pendapat ahli hukum dan sarjana hukum bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah hanya kurang dalam pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja. Tetapi bila melihat dari Pasal 2 ayat (2) harus dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus dicatatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUH Perdata dan akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu perkawinan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Akan tetapi pernikahan bawah tangan tidak bisa dipandang hanya dengan sebelah mata, karena dalam hal ini hukum islam masih member solusi dengan cara pernikahan bawah tangan dapat dimintakan isbat nikah. Hal ini adalah peluang bagi para pelaku pernikahan bawah tangan agar dapat memiliki kekuatan hukum dengan adanya bukti isbat nikah dari Pengadilan Agama setempat.

5. Pengertian anak
Anak adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita baik anak sah maupun anak di luar perkawinan, hasil hubungannya dengan seorang laki-laki baik itu sebagai suaminya atau tidak. Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapatkan bimbingan dan perawatan. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri dan berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tuanya putus.
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya sedangkan anak sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agama. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Apabila suatu perkawinan yang menurut hukum sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan merupakan anak yang sah pula. Sehubungan dengan itu hukum adat menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya yang mempunyai suami, maka anak-anak itu adalah anak suaminya. Hubungan antara anak dan bapaknya merupakan suatu hubungan yang sah menurut hukum.
Sedangkan anak di luar perkawinan adalah anak yang lahir tidak dari ikatan suatu perkawinan atau anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Masyarakat sering menilai bahwa anak yang lahir akibat nikah siri sama dengan anak di luar perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan atau nikah siri secara agama dan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan diakui keabsahannya dan memiliki kekuatan hukum, sehingga anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri tetap anak kandung yang asal-usul orang tuanya jelas, khususnya bersangkutan dengan bapak kandungnya. Hal ini berbeda dengan anak di luar perkawinan. Persepsi masyarakat inilah yang mengakibatkan bahwa anak nikah sirri sama dengan anak haram yang dianggap tidak jelas siapa bapaknya. Akan tetepi hal ini dapat ditepis dengan penjelasa sebelumnya menegeneai substansi dari pernikahan bawah tngan yang telah dianggap sah. Anak hanyalah sebagai korban dari kesalahan atas pelanggaran yang dilakukan kedua orang tuanya dengan melakukan pernikahan bawah tangan. Dalam hemat penulis, apabila hal ini diukur dengan pertimbangan fiqh maka pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah suami. Karena pihak suamilah yang seharusnya menyiapkan segala perangkat perkawinan tersbut. Jadi, dari sebuah kelalaian tersebut maka sudah seharusnya pihak suamilah yang harus bertanggung jawab .