Rabu, 14 Maret 2012

setatus anak hasil nikah sirri

4. Istilah Perkawinan Di Bawah Tangan (Nikah Sirri) Serta Kekuatan Hukumnya
Perkawinan di bawah tangan, nikah agama, atau lebih populer dengan nikah sirri. Nikah sirri merupakan perkawinan yang sah menurut hukum UU No. 1 tahun 1974 dan agama dengan terpenuhinya syarat dan rukun nikah itu sah. Nikah sirri merupakan suatu istilah yang dibentuk dari dua kata; nikah dan sirri. Kata nikah dalam bahas Indonesia adalah kata benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari bahasa arab, yaitu nakaha, yankihu, nikahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , nikah atau perkawinan adalah perjanjian anatara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri. Dan kata sirri adalah satu kata bahasa Arab yang berasal dari infinitive sirran dan sirriyyun. Secara etimologi sirran berarti diam-diam atau tertutup, secara batin, atau didalam hati. Sedangkan kata sirriyyun berate secara rahasia, sembunyi-sembunyi, atau misterius. Kata sirri,sirran, atau sirriyyun, dalam bahasa Indonesia bukanlah kata baku dan pemakaiannyapun belum popular di Indonesia. Namun demikian, kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri). Pada sebagian masyarakat terutama sebagian umat islam di Indonesia, cukup banyak dikenal.
Menurut pendapat guru besar (Syekh) al-Azhar yaitu Syekh Dr. Jaad Al-Haq ‘Ali Jaad Al-Haq, yang juga pernah diterbitkan oleh majalah Mimbar hukum mengatakn bahwa sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Nikah Sirri disebut dengan Az-zawaj al’urfy. Dalam hal ini syekh Jaad Al-haq ‘Ali Jaad Al-haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori, yakni:
a. Peraturan Syara’, yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Yang sudah ditentukan oleh syari’at islam seperti yang sudah dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai madzhab. Apabila sebuah pernikahan tersebut sudah memenuhi berbagai unsur-unsur pembentukan nikah tlah sempurna atau sesuai dengan ketentua Syara’, maka pernikahan tersebut telah dianggap sah. Sehungga halal bergaul sebagaimana suami-istri. Dan anak dari hubungan suami-istri tersubut sudah dianggap sebagai anak sah.
b. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan bersifat tambahan yang bermaksud agar perkawinan yang dilakukan umat islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
Menurut fatwa sekh Jaad Al-haq ‘Ali Jaad Al-haq, syarat tawsiqy bukan merupakan syarat sahnya pekawinan akan tetapi hanya bersifat sebagai bukti dikemudian hari. Jadi tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’i pernikahan itu sudah dianggap sah. Dan hal ini diperkuat oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu.
Akan tetapi banyak pendapat ahli hukum dan sarjana hukum bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah hanya kurang dalam pencatatan perkawinan atau syarat administratif saja. Tetapi bila melihat dari Pasal 2 ayat (2) harus dibaca sebagai satu kesatuan, artinya perkawinan yang sah adalah yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan itu dan harus dicatatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUH Perdata dan akta perkawinan merupakan bukti satu-satunya adanya suatu perkawinan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Akan tetapi pernikahan bawah tangan tidak bisa dipandang hanya dengan sebelah mata, karena dalam hal ini hukum islam masih member solusi dengan cara pernikahan bawah tangan dapat dimintakan isbat nikah. Hal ini adalah peluang bagi para pelaku pernikahan bawah tangan agar dapat memiliki kekuatan hukum dengan adanya bukti isbat nikah dari Pengadilan Agama setempat.

5. Pengertian anak
Anak adalah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita baik anak sah maupun anak di luar perkawinan, hasil hubungannya dengan seorang laki-laki baik itu sebagai suaminya atau tidak. Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapatkan bimbingan dan perawatan. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri dan berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tuanya putus.
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya sedangkan anak sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agama. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Apabila suatu perkawinan yang menurut hukum sah, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan merupakan anak yang sah pula. Sehubungan dengan itu hukum adat menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya yang mempunyai suami, maka anak-anak itu adalah anak suaminya. Hubungan antara anak dan bapaknya merupakan suatu hubungan yang sah menurut hukum.
Sedangkan anak di luar perkawinan adalah anak yang lahir tidak dari ikatan suatu perkawinan atau anak yang lahir dari seorang wanita yang tidak mempunyai suami atau anak yang mempunyai bapak dan ibu yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Masyarakat sering menilai bahwa anak yang lahir akibat nikah siri sama dengan anak di luar perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan atau nikah siri secara agama dan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan diakui keabsahannya dan memiliki kekuatan hukum, sehingga anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri tetap anak kandung yang asal-usul orang tuanya jelas, khususnya bersangkutan dengan bapak kandungnya. Hal ini berbeda dengan anak di luar perkawinan. Persepsi masyarakat inilah yang mengakibatkan bahwa anak nikah sirri sama dengan anak haram yang dianggap tidak jelas siapa bapaknya. Akan tetepi hal ini dapat ditepis dengan penjelasa sebelumnya menegeneai substansi dari pernikahan bawah tngan yang telah dianggap sah. Anak hanyalah sebagai korban dari kesalahan atas pelanggaran yang dilakukan kedua orang tuanya dengan melakukan pernikahan bawah tangan. Dalam hemat penulis, apabila hal ini diukur dengan pertimbangan fiqh maka pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah suami. Karena pihak suamilah yang seharusnya menyiapkan segala perangkat perkawinan tersbut. Jadi, dari sebuah kelalaian tersebut maka sudah seharusnya pihak suamilah yang harus bertanggung jawab .